Sebuah refleksi dari tidak ada kembali ke-tidak ada
Kematian adalah dari sekian banyak tema yang acap kali manusia menafikannya, sedikit dan banyak manusiapun telah memikirkannya serta banyak melibatkan paradok dan kontradiksi dan bisa jadi tema ini sebuah tema yang menyakitkan dan membingungkan.
Kematian bukanlah sebuah peristiwa yang buruk, baik dan apa lagi dihindari, kematian adalah hilangnya sebuah nilai, tapi bagaimanapun juga manusai patut untuk memikirnya dan mencoba merasakannya dengan segenap kesadarannya. Toh pada ahirnya hal ini adalah sebuah refleksi, dimana kekurangan atau ketiadaan adalah asal segala yang hidup. Apa yang membedakan manusia berfikir tentang masalah kematian dan hal lain adalah tingkat kesadarannya untuk berfikir, kesadaran itulah yang seharusnya menjadi nilai unggul dibanding makhluk hidup lainnya. Kematian bukan peristiwa yang menyakitkan dan tidak ada rasa sakit pula setelah kematian. Manusia tidak akan hidup dari kematian namun dia akan hidup dalam kematiannya.(dunia lain) dan Bahwa kesadaran manusia akan pengetahuan di dunia ini adalah berasal dari ketiadaan dan oleh karena itu peristiwa kematian dan kembali ke asal (ketiadaan) adalah hal yang amat sulit bagi manusia untuk menggambarkan dan menerimanya bahkan ada yang menolaknya karena tidak percaya akan ketiadaan dari keberadaannya. Jika ada anggapan manusia berfikir karena dia ada, tidak mungkin -- jika dia untuk berfikir karena dia tidak ada, itulah kematian adalah peristiwa kembalinya sesuatu yang tidak ada ke asal ketiadaannya.
Walaupun kematian adalah “akhir” dari segalanya bagi tubuh kita, dalam arti bahwa apa yang terjadi pada dimensi manusia, karena keberadaan fisik (biologis) dan psikis akan berhenti untuk ada, namun ide bahwa manusia itu telah menyaksikan proses kelahirannya, yang diawali dari masa anak-anak dan berinteraksi dengan dunia di sekelilingnya, akan berhenti untuk ada, ide ini adalah memberikan apa yang kami rasa benci untuk berpikir tentang kematian.
Tetap sangat sulit untuk percaya bahwa, kita pada suatu hari kita akan kembali ke tidak ada. Apakah mungkin berpikir bahwa akan datang hari setelah tidak ada.?!!
Jika ketika fungsi fungsi organ tubuh ini berhenti dari tugasnya dan terhentinya sebuah kesadaran, apakah itu akan menghilangkan arti manusia sebagai makhluk hidup?!
Apakah (kehidupan) kita akan berahir, ketika tubuh kita membusuk di dalam tanah? Apakah manusia adalah hasil dari milyaran sel yang tergabung menjadi satu, atau apakah hanya sekedar simbol simbol yang dijalankan oleh otak sepanjang umurnya, meskipun fisik mempunyai interpretasi masing-masing dalam sejarah dan kehidupan. Bagaimana mengatasi dilema ini?
Berfikir abstrak kah, seperti yang dilakukan oleh para foilosof?! melakukan kajian langsung seperti apa yang dijalankan oleh seorang insinyur bangunan?!! apakah kita harus melakukan kombinasi antara keduanya seperti yang diajarkan para Nabi?!! Dan apakah memang tidak ada solusinya tentang masalah kematian?!!
Dalam masyarakat primitif kepercayaan atau mencari k ="fullpost">
eabadiaan adalah hal yang amat diyakini, maka orang yang mati itu tetap ada dalam kesadaran, akan selalu menjelma dalam mimpi dan memberi pengaruh terhadap sekeilingnya.
Bahwa orang-orang yang bermimpi meninggal dan dapat berbicara dengan mereka (roh), adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan kepercayaan bahwa roh kekal dan abadi dalam kehidupan mereka, dan kematian tidak akan merusak jiwa manusia. Inilah roh yang akan kembali setelah kematian dalam mimpi.
Jika kematian adalah berhubungan dengan dzat manusia maka kematian adalah hal yang menyakitkan yang menggangu kesadaran manusia. Terkadang juga problem manusia yang terkait dengan isu isu kematian, bagi filosof masih mengundang dan menonggalkan sebuah pertanyaan yang bernadakan pahit dan psimis tentang makna keberadaan, tujuan hidup, dan apakah ada kehidupan lain setelah kematian atau tidak?. Sedangkan dalam kesadaran agama bahwa problem kematian bagi manusia adalah hal yang pasti
Semua kesulitan yang dihadapi oleh manusia adalah masalah kematian yang berdiri di depan kesadarannya, dimana kemampuannya ditantang, kematian adalah misteri dalam kehidupannya. Inilah sebuah dilema bagi filosof, pemikir, pemimpin dan masyarakat umum.
Sejarah problem kematian adalah cerita tentang upaya yang telah dilakukan untuk menekankan bahwa kematian – seprti yang diyakini manusia dalam mitos dan agama – bukanlah perjalanan akhir mutlak, bahwa hidup setelah kematian bukan merupakan ilusi namun akan terjadi. Sekarang muncul anggapan itu semakin benar.
Banyak orang menghubungkan masalah kematian dengan masalah masalah keburukan, ketika manusia itu berfikir tentang kematian maka pertanyaan yan mencul adalah, kapan maunusia itu menyungkap dan membuktikan bahwa manusia itu akan mati, dan hal itu pasti terjadi?!!
Semua organisme hidup tidak tahu bahwa mereka akan mati, hanya tahu bahwa manusia pasti akan mati.
Masalah kematian adalah masalah filosofis yang besar, penemuan dan penmngungkapan kematian adalah satu-satunya yang menunjukkan tehadap kedewasaan mental dan kesadaran dari manusia, dan bahwa kesadaran akan kematian tidak sama satu sama lain.
Persyaratan yang penting dalam rangka mengetahui keniscayaan kematian adalah munculnya pemikiran sebab-musabab, diamana dasar itu dapat menjadikan manusia untuk berfikir realities bahwa manusia hidup sebab ada hubungan dengan kejadian di sekitarnya dan dapat merenungkan kepada kaidah umum bahwa semua manusia
Thursday, July 30, 2009
Thursday, September 13, 2007
IBADAH DAN KEMANUSIAAN
Oleh:Imam Rozi
Ibadah —dalam arti secara umum—adalah salah satu yang menjadi keresteristik Islam dan sekaligus sebagai pembeda dari Agama-Agama yang lain, Misalnya perbedaan ini dapat dilihat di Agama Kristen. Agama Kristen Agama teologis “kholis” artinya selalu mengurusi hal-hal yang bersifat ketuhanan saja akan tetapi mengesampingkan isu isu dunia “kemanusiaan”. Kita bisa melihat dalam isi kutbah-kutbah gereja mereka. Anggapan ini jelas kurang valid untuk bisa dikatakan sebagai pembenaran argumen apalagi sebagai kajian ilmiah, tapi yang perlu diperhatian dan bila perlu di garis bawahi adalah dalam akidah seseorang yang paling dangkal sekalipun, yang sedang melewati tahap yang lebih mapan dan kuat, setidaknya secara dini penanaman keyakinan kebenaran tentang agama sendiri dari agama-agama lain adalah menjadi hal yang perlu di lakukan se dini mungkin oleh pribadi soarang muslim agar menjadi muslim yang kaffah, inilah awal dari keyakinan mapan dan kuat yang timbul dari gesekan-gesekan sebuah keraguan
Dalam Islam sendiri ibadah mempunyai defenisi dan medan penerapan yang begitu amat luasnya sehingga apapun yang di senenagi dan di laksanan oleh seorang hamba itu akan menjadi ibadah. Makan misalnya, yang tidak kita sadari dan sudah menjadi kebiasaan dalam keseharian kita untuk menjadi hamba yang kuat fisik yang nanti kesehatan dari manfaat makan tersebut di harapkan mampu memenuhi panggilan Tuhan sebagai hamba mukallaf, adalah salah satu dari bentuk ibadah. Makan adalah ibadah maka tidak perlu untuk menghentikan makan ketika mendengar panggilan apapun sekalipun itu panggilan Tuhan”adzan”, karena makan itupun merupakan ibadah tersendiri, maka penulis mengatagorikan makan sebagiai ibadah yang besifat vertikal tidak horisontal.
Manusia—pada ranah hubungannya dengan Tuhan—adalah hamba yang dikuasi dan di paksa, yang mendengar dengan baik firman-firman dari Tuhannya baik perintah atau larangan kemudian melaksanakan dan meninggalkannya, maka dari asumsi tersebut manusia sama sekali tidak mempunyai kebebasan bergerak, dia hanya seorang hamba yang mengabdi dan patuh kepada-Nya, hal ini selaras dengan konsep penciptaan manusia yang tujuan pencipataannya adalah semata mata hanya mengabdi kepada sang pencipta, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku” (Q,S .Al dzariyat,56). Ini adalah harga mati yang tidak dapat ditawar karena konsep kehambaan cuma mengenal satu hubungan yaitu kepatuhan. karena pembahasannya masalah ini adalah terkait dengan akidah dan keimanan. Bagaiamana manusia itu bisa bebas padahal dia adalah seorang hamba?. Karena kebebasan dan kehambaan adalah dua hal yang mustahil untuk dimiliki dalam satu ‘tubuh”. Maka akan tampak jelas bahwa Allah swt adalah Tuhan pembuat taklif , manusia adalah seoarang hamba yang sebagi pelaksananya dan semua bentuk penyembahan hanya kepada-Nya.
Ada yang cukup penting untuk mengatakan tindak tanduk seoarang hamba bernilai biasa atau ibadah adalah niat , maka akan mejadi keniscayaan untuk menyertakan niat tehadap perbuatan hamba agar menjadi ibadah dan tapi, jelas tidak menjadi syarat ibadah diterima Tuhan kalau hanya sekedar niat belaka, maka keniscayaan selanjutnya yang begitu amat penting dari pada niat adalah ikhlas. Di sini ia akan menjadi penentu seorang hamba apakah berhak mendapat balasan atau tidak dari ibadahnya tersebaut.?! Dan semuanya setidaknya sudah menjadi kesepakatan para ulama dengan berbagai alasannya dalam pembenaran mereka yang berdasar pada penafsiran atas teks-teks yang ada.
Dari sedikit pemaparan di atas dapat diambil tiga pilar penting yang ketiganya amat terkait satu sama lain ibarat segi tiga sama sisi. Sisi bagian bawah adalah tindak tanduk seorang hamba, sisi sebelah kanan adalah niat dan sisi sebelah kiri ialah ikhlas yang mana keduanya sama sama menghadap keatas artinya yang urusannya di tangan Tuhan.
Tapi, apakah semua amal ibadah membutuhkannya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu di paparkan disini adalah tentang pemetaan atau pembedaan ibadah. Dalam islam sudah jelas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-Nya secara pribadi seperti shalat, puasa dan lain sebagainya ini adalah disebut ibadah vertikal yang sifatnya personal. Ibadah vertikal ini saya rasa sudah finis pembahasannya, sebab terdapat madzhab sendiri yang mengaturnya, satu ibadah bisa saja berbeda cara pelaksanaannya tapi saya kira sama esensinya, dan hal tersebut tidak harus menimbulkan permasalahan apalagi permusuhan, hal sedemikan itu masuk kepada kajian fiqih madzhab dan ia timbul dan di bangun dari perbedaan-pandangan dalam memehami makna teks keagamaan, maka fiqih identik dengan perbedaan, ini yang pertama. Sedangkan yang kedua adalah ibadah herisontal (amal sosial) yang tata cara pelaksanaannya menyangkut publik. Untuk ibadah ini di perlukan semacam kajian yang mendalam, agar benar benar Islam akan menjadi solusi untuk kemanusiaan.
Islam adalah agama dunia (dan) sekaligus ahirat, di sinilah maka islam adalah solusi “Islam Huwa Al-Hal” yang di harapkan mampu megatasi urusan-urusan kemanusiaan, dan nantinya akan menjadi tanngung jawab setiap muslim yang sadar betul dengan isu-isu kemamusiaan, yang senantiasa berkembang selaras dengan perkembangan zaman serta membutuhkan solusi manusia itu sendiri sebab hanya manusialah —selaku penjalan agama—yang mampu menghadirkan Islam sebagai solusi ‘Al-Hal” hidup. Untuk menjantawantahkan hal itu dan agar hal itu tidak hanya sekedar celoteh dan slogan politis belaka, maka di harapkan terdapat pembedaaan antara ibadah personal yang urusannya ada pada tanggung jawab sendiri dengan Tuhannya dan ibadah public yang menyangkut kehidupan orang banyak.
Jika semua ibadah termasuk ibadah yang bersifat horisontal (amal sosial) di hargai mati dengan mengharuskan ikhlas sebagai satu-satunya pendorong pelaksanaannya artinya, pelaksanaannya menunggu ketika timbul ikhlas, maka yang akan terjadi ialah. Pertama, penundaan sosial, karena rasa ikhlas tidak sekonyong-konyong muncul dari hati seseorang akan tetapi timbul dan muncul akibat dari kebiasaan-kebiasaan untuk berbuat sosial, jika dipaksakan pelaksanaannya maka terkesan akan peyakinan dalam diri seseorang istilah yang penting ikhlas, setahu saya konsep demekian itu tidak terdapat dalam Islam, namun yang perlu di ajarkan pada seseorang adalah konsep harus ikhlas. Kedua, orang lain tidak tertolong secara cepat, sebab terjadinya musibah yang menimpah manusia itu datang secara tidak di duga-duga serta membutuhkan penanganan secara cepat pula. Dan ketiga ialah penanaman sifat Istibdad Al-mal ; penumpukan atau penyimpanan harta dengan banyak tanpa pentasarufan dan di sertai dengan anganggap hartanya adalah hasil jerih payah dari keringatnya sendiri, kurang lebihnya pelestarian sifat Qarun akan bakal terjadi , hal ini bisa menghambat perjalanan Islam sebagai Agama kemanusiaan.
Maka hemat saya, hal seperti perlu selalu disinggung karena setelah mengetahuinya di harapkan rasa kemanusian antar manusia lebih mengobar dalam hati muslim, dan yang terpenting sebagai ahir tulisan ini adalah banyaknya amal sosial (sumbangan) yang didasari dengan harus ikhlas dari pada sedikitnya amal sosial (sumbangan) atas dasar yang penting ikhlas. Tapi yang terpenting adalah tujuan sosialnya tercapai, jika perlu harus di pamerkan agar tergugah hati mereka untuk mengikutinya, bukankah berbuat baik takut di lihat manusia itulah yang di sebut pamer?!.Allahu A’lam bi Al- shawab.
Ibadah —dalam arti secara umum—adalah salah satu yang menjadi keresteristik Islam dan sekaligus sebagai pembeda dari Agama-Agama yang lain, Misalnya perbedaan ini dapat dilihat di Agama Kristen. Agama Kristen Agama teologis “kholis” artinya selalu mengurusi hal-hal yang bersifat ketuhanan saja akan tetapi mengesampingkan isu isu dunia “kemanusiaan”. Kita bisa melihat dalam isi kutbah-kutbah gereja mereka. Anggapan ini jelas kurang valid untuk bisa dikatakan sebagai pembenaran argumen apalagi sebagai kajian ilmiah, tapi yang perlu diperhatian dan bila perlu di garis bawahi adalah dalam akidah seseorang yang paling dangkal sekalipun, yang sedang melewati tahap yang lebih mapan dan kuat, setidaknya secara dini penanaman keyakinan kebenaran tentang agama sendiri dari agama-agama lain adalah menjadi hal yang perlu di lakukan se dini mungkin oleh pribadi soarang muslim agar menjadi muslim yang kaffah, inilah awal dari keyakinan mapan dan kuat yang timbul dari gesekan-gesekan sebuah keraguan
Dalam Islam sendiri ibadah mempunyai defenisi dan medan penerapan yang begitu amat luasnya sehingga apapun yang di senenagi dan di laksanan oleh seorang hamba itu akan menjadi ibadah. Makan misalnya, yang tidak kita sadari dan sudah menjadi kebiasaan dalam keseharian kita untuk menjadi hamba yang kuat fisik yang nanti kesehatan dari manfaat makan tersebut di harapkan mampu memenuhi panggilan Tuhan sebagai hamba mukallaf, adalah salah satu dari bentuk ibadah. Makan adalah ibadah maka tidak perlu untuk menghentikan makan ketika mendengar panggilan apapun sekalipun itu panggilan Tuhan”adzan”, karena makan itupun merupakan ibadah tersendiri, maka penulis mengatagorikan makan sebagiai ibadah yang besifat vertikal tidak horisontal.
Manusia—pada ranah hubungannya dengan Tuhan—adalah hamba yang dikuasi dan di paksa, yang mendengar dengan baik firman-firman dari Tuhannya baik perintah atau larangan kemudian melaksanakan dan meninggalkannya, maka dari asumsi tersebut manusia sama sekali tidak mempunyai kebebasan bergerak, dia hanya seorang hamba yang mengabdi dan patuh kepada-Nya, hal ini selaras dengan konsep penciptaan manusia yang tujuan pencipataannya adalah semata mata hanya mengabdi kepada sang pencipta, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku” (Q,S .Al dzariyat,56). Ini adalah harga mati yang tidak dapat ditawar karena konsep kehambaan cuma mengenal satu hubungan yaitu kepatuhan. karena pembahasannya masalah ini adalah terkait dengan akidah dan keimanan. Bagaiamana manusia itu bisa bebas padahal dia adalah seorang hamba?. Karena kebebasan dan kehambaan adalah dua hal yang mustahil untuk dimiliki dalam satu ‘tubuh”. Maka akan tampak jelas bahwa Allah swt adalah Tuhan pembuat taklif , manusia adalah seoarang hamba yang sebagi pelaksananya dan semua bentuk penyembahan hanya kepada-Nya.
Ada yang cukup penting untuk mengatakan tindak tanduk seoarang hamba bernilai biasa atau ibadah adalah niat , maka akan mejadi keniscayaan untuk menyertakan niat tehadap perbuatan hamba agar menjadi ibadah dan tapi, jelas tidak menjadi syarat ibadah diterima Tuhan kalau hanya sekedar niat belaka, maka keniscayaan selanjutnya yang begitu amat penting dari pada niat adalah ikhlas. Di sini ia akan menjadi penentu seorang hamba apakah berhak mendapat balasan atau tidak dari ibadahnya tersebaut.?! Dan semuanya setidaknya sudah menjadi kesepakatan para ulama dengan berbagai alasannya dalam pembenaran mereka yang berdasar pada penafsiran atas teks-teks yang ada.
Dari sedikit pemaparan di atas dapat diambil tiga pilar penting yang ketiganya amat terkait satu sama lain ibarat segi tiga sama sisi. Sisi bagian bawah adalah tindak tanduk seorang hamba, sisi sebelah kanan adalah niat dan sisi sebelah kiri ialah ikhlas yang mana keduanya sama sama menghadap keatas artinya yang urusannya di tangan Tuhan.
Tapi, apakah semua amal ibadah membutuhkannya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu di paparkan disini adalah tentang pemetaan atau pembedaan ibadah. Dalam islam sudah jelas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-Nya secara pribadi seperti shalat, puasa dan lain sebagainya ini adalah disebut ibadah vertikal yang sifatnya personal. Ibadah vertikal ini saya rasa sudah finis pembahasannya, sebab terdapat madzhab sendiri yang mengaturnya, satu ibadah bisa saja berbeda cara pelaksanaannya tapi saya kira sama esensinya, dan hal tersebut tidak harus menimbulkan permasalahan apalagi permusuhan, hal sedemikan itu masuk kepada kajian fiqih madzhab dan ia timbul dan di bangun dari perbedaan-pandangan dalam memehami makna teks keagamaan, maka fiqih identik dengan perbedaan, ini yang pertama. Sedangkan yang kedua adalah ibadah herisontal (amal sosial) yang tata cara pelaksanaannya menyangkut publik. Untuk ibadah ini di perlukan semacam kajian yang mendalam, agar benar benar Islam akan menjadi solusi untuk kemanusiaan.
Islam adalah agama dunia (dan) sekaligus ahirat, di sinilah maka islam adalah solusi “Islam Huwa Al-Hal” yang di harapkan mampu megatasi urusan-urusan kemanusiaan, dan nantinya akan menjadi tanngung jawab setiap muslim yang sadar betul dengan isu-isu kemamusiaan, yang senantiasa berkembang selaras dengan perkembangan zaman serta membutuhkan solusi manusia itu sendiri sebab hanya manusialah —selaku penjalan agama—yang mampu menghadirkan Islam sebagai solusi ‘Al-Hal” hidup. Untuk menjantawantahkan hal itu dan agar hal itu tidak hanya sekedar celoteh dan slogan politis belaka, maka di harapkan terdapat pembedaaan antara ibadah personal yang urusannya ada pada tanggung jawab sendiri dengan Tuhannya dan ibadah public yang menyangkut kehidupan orang banyak.
Jika semua ibadah termasuk ibadah yang bersifat horisontal (amal sosial) di hargai mati dengan mengharuskan ikhlas sebagai satu-satunya pendorong pelaksanaannya artinya, pelaksanaannya menunggu ketika timbul ikhlas, maka yang akan terjadi ialah. Pertama, penundaan sosial, karena rasa ikhlas tidak sekonyong-konyong muncul dari hati seseorang akan tetapi timbul dan muncul akibat dari kebiasaan-kebiasaan untuk berbuat sosial, jika dipaksakan pelaksanaannya maka terkesan akan peyakinan dalam diri seseorang istilah yang penting ikhlas, setahu saya konsep demekian itu tidak terdapat dalam Islam, namun yang perlu di ajarkan pada seseorang adalah konsep harus ikhlas. Kedua, orang lain tidak tertolong secara cepat, sebab terjadinya musibah yang menimpah manusia itu datang secara tidak di duga-duga serta membutuhkan penanganan secara cepat pula. Dan ketiga ialah penanaman sifat Istibdad Al-mal ; penumpukan atau penyimpanan harta dengan banyak tanpa pentasarufan dan di sertai dengan anganggap hartanya adalah hasil jerih payah dari keringatnya sendiri, kurang lebihnya pelestarian sifat Qarun akan bakal terjadi , hal ini bisa menghambat perjalanan Islam sebagai Agama kemanusiaan.
Maka hemat saya, hal seperti perlu selalu disinggung karena setelah mengetahuinya di harapkan rasa kemanusian antar manusia lebih mengobar dalam hati muslim, dan yang terpenting sebagai ahir tulisan ini adalah banyaknya amal sosial (sumbangan) yang didasari dengan harus ikhlas dari pada sedikitnya amal sosial (sumbangan) atas dasar yang penting ikhlas. Tapi yang terpenting adalah tujuan sosialnya tercapai, jika perlu harus di pamerkan agar tergugah hati mereka untuk mengikutinya, bukankah berbuat baik takut di lihat manusia itulah yang di sebut pamer?!.Allahu A’lam bi Al- shawab.
Subscribe to:
Posts (Atom)